Terapi Diet Pada Postoperasi Peritonitis Generalisata ec Perforasi Gaster

Oleh Kurniati Dwi Utami S.Gz


Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum).  Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi pascaoperasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen (Way. L, 1998). Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi (ringan). Kontaminasi yang terus menerus oleh bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencernaan aktif merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis (Schrock, 2000)

Penyebab Peritonitis

Peritonitis biasanya disebabkan oleh :

  1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi.
  2. Setelah suatu pembedahan.
  3. Iritasi tanpa infeksi.
  4. Perforasi gaster/ ulkus peptikum
  5. Lifestyle (pola makan, stress dan merokok)

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).

Etiologi Penyakit Peritonitis

o akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia
o spontan pasa bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress ulcer
o ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid  terutama pada pasien usia lanjut.
o adanya faktor predisposisi termasuk ulkus peptik
o perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
o benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau usus dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis (Pieter, 2004)

o Obat-obatan, merokok dan pola makan yang tidak sehat

Penelitian di RS Hasan Sadikin Bandung sejak akhir tahun 2006 terhadap 38 kasus perforasi gaster, 32 orang di antaranya adalah pengonsumsi jamu (84,2 persen) dan dari jumlah itu, sebanyak 18 orang mengonsumsi jamu lebih dari 1 tahun (56,25 persen). Pasien yang paling lama mengonsumsi jamu adalah sekitar 5 tahun. Frekuensi tersering mengonsumsi jamu adalah seminggu tiga kali. Namun jamu yang mereka konsumsi adalah jamu plus obat kimia atau yang sering dikenal dengan jamu oplosan. Dari uji laboratorium, ternyata jamu tersebut mengandung bahan kimia. Sebagian besar zat kimia tersebut merupakan golongan obat yang bersifat antiperadangan dan antinyeri (anti-inflamasi) nonsteroid (NSAID) di antaranya fenilbutazon, antalgin, dan natrium diclofenac, serta golongan obat anti-inflamasi steroid di antaranya deksametosan dan prednisone (Hermana, 2007). Minuman bersoda, makanan yang berbumbu tajam, merokok dan stress secara fisiologis juga dapat meningkatkan produksi asam lambung yang dapat memperparah terjadinya borok pada peritonitis.

Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat inflamasi, membentuk flegmon. Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik, mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi organ, dan syok dapat terjadi.

 Tanda dan Gejala

Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan mengejan.

Penatalaksanaan
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob.

Pemeriksaan Penunjang

Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali. CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster. (Sofic, 1995)

 Terapi Penyakit

  1. Tata cara hidup. Penderita tukak peptik, terutama yang berat harus banyak istirahat dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mencegah timbulnya komplikasi.
  2. Merokok. Sampai saat sekarang tidak ada bukti bahwa merokok merupakan predisposisi untuk timbulnya tukak peptik. Merokok akan mengurangi nafsu makan, kebiasaan merokok akan menghambat proses penyembuhan oleh karena itu penderita perokok dengan sindroma dispepsia apapun bentuknya, dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok.
    (Hadi, 1999)
  3. Diit. Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara pemberian diit lambung dengan dasarnya makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek dan mudah dicernakan, tidak merangsang, kemungkinan dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Pada pasien ini tidak diperbolehkan makan pedas, masam, dan berkarbonasi. Perut tidak boleh kosong atau terlalu penuh.

Beberapa penelitian zat yang baik diberikan pasca operasi diantaranya :

a. Glutamin

Glutamin adalah asam amino yang paling banyak dalam tubuh. Glutamin terdiri  lebih dari 60 persen asam amino bebas di otot rangka dan lebih banyak terlibat dalam proses metabolisme daripada asam amino lainnya. Penelitian telah menunjukkan pemberian glutamin efektif mempercepat penyembuhan perawatan penyakit luka bakar, kanker kolorektal, penyakit Crohn, HIV / AIDS, penyakit inflamasi usus (IBD), sindrom iritasi usus (IBS), obesitas, peritonitis, kerusakan radiasi, sepsis, ulseratif kolitis, dan penyembuhan luka. Adapun manfaat dari asam amino glutamin yaitu membuat usus lebih sehat, meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan otot, membantu memerangi kelelahan dan masalah gula darah dan mendorong kemampuan otak. Penelitian yang dilakukan Nakeeb (2009) menunjukkan prevalensi kunjungan di rumah sakit pembedahan digesta dapat dikurangi dengan memberikan parenteral yang mengandung glutamin tinggi kepada pasien. Uji klinis telah menunjukkan bahwa pasien yang diberi tinggi glutamin akan membantu meningkatkan keseimbangan nitrogen, regenerasi-cysteinyl polymorphonuclear leukotrienes dari granulosit neutrofil dan limfosit dan peningkatan permeabilitas usus (pascaoperasi pasien) dibandingkan dengan mereka yang tidak diberi glutamin dalam diet; penelitian ini dilakukan tanpa adanya efek samping

 Bahan Makanan Tinggi Glutamin

Glutamin merupakan asam amino non- esensial dalam tubuh dan sebagian besar dibuat dan disimpan dalam otot rangka. Ketika tubuh mengalami stres metabolik atau trauma, pembedahan, kanker, sepsis dan luka bakar, maka glutamin perlu ditambahkan di dalam dietnya. Bahan makanan alami sumber glutamin meliputi protein hewani seperti ikan, telur, susu, daging sapi, unggas, yogurt, keju ricotta, keju cottage. Pada protein nabati glutamine juga dapat ditemukan pada kacang-kacangan, bit, bayam, parsley, kubis, biji rami dan chia benih. Sejumlah kecil glutamin juga ditemukan dalam kacang-kacangan, jus sayuran dan makanan fermentasi.  Dosis arginin yang diajurkan pada orang dewasa diantaranya hingga mencapai 21 gram/hari (Boelens,2002). Pemberian arginin banyak dilakukan melalui parenteral. Penelitian prospektif yang dilakukan Antonio (1992) menunjukkan bahwa pemberian parenteral nutrition dapat meningkatkan keadaan umum dan kesembuhan pasien perioperatif.

Omega 3

Omega 3 merupakan asam lemak yang baik dikonsumsi karena berperan dalam mengatasi inflamasi paska operasi seperti kondisi seperti IBS, ulcerative colitis dan radang sendi. Omega 3 juga berperan dalam tingkat penyerapan vitamin yang larut dalam lemak, seperti vitamin A, D, E dan vitamin K. Vitamin tersebut diperlukan oleh tubuh kita untuk melawan infeksi, menjaga kesehatan mata dan kulit, sirkulasi jantung, pembekuan darah dan kuat tulang.

Didalam ESPEN Guidelines for Enteral Nutrition 2006 dan TNT tahun 2000 pada pasien dengan pembedahan dianjurkan memberikan nutrisi berupa tinggi protein, glutamine, arginin dan Zn untuk pembentukan otot, mengandung ricosapentaenoic acid (EPA), serta antioxidants (vitamins A, C, E dan Se), Folate dan Fe untuk anemianya.  Pemberian modulator metabolic paska bedah mayor seperti zat-zat gizi tersebut dapat membantu memperbaiki outcome paska operasi.

 Waktu dukungan operasi

Peran dukungan nutrisi sebelum operasi adalah untuk memperbaiki kekurangan gizi sebelum pembedahan, sedangkan nutrisi pasca operasi bertujuan mempertahankan status gizi pada periode katabolik setelah operasi. Dukungan nutrisi enteral konvensional dianjurkan selama 10-14 hari sebelum operasi besar pada pasien dengan risiko gizi buruk untuk meningkatkan status gizinya (ESPEN,2006)

Waktu lamanya puasa pra operasi telah lama diperdebatkan. Penelitian yang dillakukan Brady et al. menunjukkan bahwa konsumsi cairan bening paskan operasi 2-jam tidak meningkatkan komplikasi operasi. Saat ini, puasa pra operasi selama 2 jam untuk cairan dan 6 jam untuk makanan padat dianggap sebagai praktek terbaik dan direkomendasikan pada kelompok pasca operasi, asupan makanan oral atau melalui selang NGT harus dimulai dalam 24 pertama. Sebuah penelitian meta-analisis menunjukkan perbedaan pasien yang mengalami paska bedah digesti dan mendapat nutrisi enteral pasca operasi (dalam waktu 24 jam) dibandingkan dengan manajemen pasien yang dipuasakan. Hasil penelitian menunjukkan pemberian susu enteral dini setelah operasi gastrointestinal dapat mengurangi adanya morbiditas dan mortalitas. Penelitian mengenai efek menguntungkan dari asupan oral secara dini dilakukan oleh El Nakeeb dkk. Diperoleh hasil bahwa pemberian asupan suplemen oral (200 ml dua kali sehari) memiliki hasil positif dibandingkan kelompok yang tidak memperoleh asupan suplemen oral.

 Daftar Pustaka

Bast A, Haenen GR, Doelman CJ. 1991. Oxidants and Antioxidants, State of Art. Am J Med. Vol. 91 (3C) : 2S – 13S

Brady 33 M, Kinn S, Stuart P. preoperative fasting for adults to prevent perioperative complications Cochrane Database of Systematic Reviews 2003;.. (4) ID Artikel CD004423.

Espen Pedoman Nutrisi Enteral: Surgery including organ transplantation.

Weimann ,Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.

Gallagher ML. 2004. Vitamins. In: Mahan LK, Escott-Stump S. Krause’s Food, Nutrition, & Diet

Therapy. Pennsylvania : Saunders. p. 75-119

Graham Hill. 2000. Buku Ajar Nutrisi Bedah. Churchil Livingstone. Farmedia

Hadi Sujono. 1999. Gastroenteronologi. Bandung : Penerbit P.T. Alumni. p.204-247
Hermana, Asep., Awas, Bahaya Jamu Oplosan! Available from http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/05/cakrawala/lainnya

Mansjoer, Arif., Suprohalta., Wardhani, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2

Nakeeb A, Fikry A, El Metwally T, et al. . Early oral feeding in patients undergoing elective colonic anastomosis International Journal of Surgery 2009;.. 7 (3) :206-209

Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal. 541-59.

Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early radiological diagnostics of gastrointestinal perforation, available from www.onkoi.si/uploads/articles/Radiology_40_2_2.pdf

Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000
Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, 7th Ed.,

Maruzen, USA.Clin Nutr. April 2006; 25 (2) :224-44. Epub Mei 2006 15.

Yetley, E A. 2007. Multivitamin and Multimineral Dietary Supplements : Definitions,Characterization, Bioavailability and Drug interactions, Am J Clin Nutr ; 269s-76s